Glukagon: SEBAGAI TERAPI PREHOSPITAL BAGI HIPOGLIKEMI
BAB I
RINGKASAN JURNAL PENELITIAN
A. Pendahuluan
Penanganan pasien dengan perubahan status mental akibat hipoglikemik bisa dibilang agak sukar. Jalur intra vena seringkali hasilnya kurang memuaskan. Studi terbaru menerangkan bahwa setiap pemasangan jalur intravena memakan waktu 2,71 menit untuk seorang pasien. Sebagian besar malah memakan waktu yang lebih lama jika pasiennya melawan. Bagaimanapun, jalur IV dikhawatirkan sekitar 10% akan menyebabkan komplikasi. D50 yang sering digunakan dalam jalur IV juga berbahaya karena D50 hipertonik dan bersifat asam, yang akan merusak jaringan jika terjadi ekstravasasi. Beberapa terapi prehospital awal termasuk pemberian glukola-oral agent yang digunakan untuk tes toleransi glukosa (75 gram glukosa), butir-butir gula (4 gram glukosa) dan glutosa, sebuah jel-seperti suplemen (35 gram glucose) dapat berisiko menyebabkan aspirasi dan D50 (25 gram glukosa) yang diberikan secara parenteral dapat menimbulkan komplikasi procedural. Kemanjuran dari glucagon adalah karena merupakan catabolic hormone yang alami, telah dilakukan pada pasien yang sukar disembuhkan dengan pemberian dextrose.
Kami menguji penggunaan glucagon melalui rute IM atau subcutaneous untuk terapi prehospital dari hipoglikemik.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengamatan terhadap keefektifan pemberian glucagon sebagai terapi prehospital dari hipoglikemik.
C. Metode Penelitian
Kami melakukan studi prospektif non randomized trial dari glucagon untuk terapi prehospital pada hipoglikemik. Penelitian kami telah disetujui oleh medical director of the City of Pittsburgh Department of Public Safety menggunakan the doctrine of implied consent. 50 pasien secara berurutan didaftarkan selama enam bulan. Kriteria inklusinya adalah memiliki gejala hipoglikemik dan tidak menggunakan jalur intravena. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan pheochromocytoma dan ibu hamil. Pasien diberikan glucagon 1,0 mg untuk dewasa dan 0,5 mg untuk anak-anak secara subkutan atau IM. Data yang dihasilkan sebelum dan sesudah pemberian glukosa dicatat sebagai nilai yang mutlak. Serum glukosa sebelum perlakuan tidak dinilai pada populasi pasien karena jalur intravena tidak didapatkan oleh para medis pada tiga usaha, dalam jangka waktu 10 menit atau kesan klinik yang memperlihatkan kemungkinan yang kecil untuk sukses.
Respon diukur sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan level of consciousness (LOC) scores oleh para medis dan dinilai dengan panduan seseorang. LOC dinilai dengan skala kualitatif linear dengan jarak 0 sampai 3. Dimana 3 jika responnya baik (sadar penuh), 2 jika berespon terhadap stimulus suara, 1 jika berespon terhadap nyeri dan 0 tidak berespon sama sekali. Pasien juga dinilai secara kuantitatif menggunakan skala GCS dengan rentang 3-15.
Analisa data disajikan dengan menggunakan statistik deskriptif. Perbandingan antara sebelum dan sesudah perlakuan disajikan dengan Wilcoxon’s dan Fisher exact test;.
D. Hasil Penelitian
Analisis demografi pasien diperoleh data, sampel terdiri dari 32% (26 dari 50) adalah perempuan dan 48% (24 dari 50) adalah pria dengan rata-rata usia sampel adalah 56,8 tahun dengan rentang usia 4 bulan hingga 97 tahun. 49 dari 50 sampel adalah orang dewasa. Riwayat diabetes ditemukan sebanyak 62% kasus dengan 29 dari 50 pasien menggunakan insulin dan 2 dari 50 menggunakan oral agent. Rute pemberian glucagon dipilih oleh masing-masing sampel, secara IM 46 orang dan subkutan 4 orang.
Tabel: tingkat kesadaran
No | Kriteria | n | Persen |
1 | Penurunan LOC | 41 | 82% |
2 | Syncope | 5 | 10% |
3 | Seizure | 4 | 8% |
Jumlah total (N) | 50 | 100% |
Survey populasi memenuhi standar protocol altered response dengan penurunan LOC 82% dari pasien (41 dari 50), syncope 10% (5 dari 50) dan seizure 8% (4 dari 50). Kondisi medis hipoglikemi didokumentasikan oleh ChemStrip BG dengan 54% (27 dari 50) memiliki kadar glukosa 0- <40>40 -80 mg/dl.
Tabel: Kadar glukosa klien
No | Kriteria | n | Persen |
1 | 0 - <40> | 27 | 54% |
2 | 40 mg/dl | 5 | 10 |
3 | Seizure | 18 | 36% |
Jumlah total (N) | 50 | 100% |
Intervensi terapi menghasilkan peningkatan yang signifikan pada nilai glukosa 100,1 mg/gl pada pasien yang diberikan glucagon (Tabel 1). Perbaikan klinis dicatat secara signifikan pada taksiran status mental meningkat 1.16 untuk kualitatif dan 4.04 untuk kuantitatif (P <0,0001;>
Efek glukagon | ||
| Pre-treatment | Post-treatmen |
Glukosa (mg/dL) | 33.2 ± 23.3* | 133.3 ± 57.3* |
Status Mental | | |
Kualitatif | 1.26 ± 0.96* | 2.42 ± 0.94* |
Kuantitatif | 9.00 ± 4.19* | 13.04 ± 3.68* |
*P < .0001 | | |
Analisa dari perekaman yang dilakukan RS ditemukan bahwa 35 dari 50 pasien memiliki diagnosis primer hypoglikemi. Mereka berespon terhadap perlakuan (responders group) dengan peningkatan yang signifikan pada penilaian status mental, 1.4 untuk kualitatif dan 5.7 untuk kuantitatif. Kelompok ke dua adalah pasien dengan diagnosis sekundernya adalah hipoglikemi dan sebab ekstrinsik seperti cerebrovascular accident atau sepsis yang menyebabkan perubahan status mental mereka. Ini grup nonresponders memiliki perubahan status mental yang tidak signifikan, 0.40 untuk qualitative dan 0.20 untuk kuantitatif. Walaupun begitu, kadar glukosa meningkat pada 49 dari 50 pasien.
Tabel 2. Analisa diagnostic RS | ||
| Pre-treatment | Post-treatmen |
Responders (70%, 35/50) Kualitatif Kuantitatif | 1.28 ± 0.98* 8.48 ± 3.98* | 2.68 ± 0.50 14.05 ± 2.38 |
Non Responden (30%, 15/50) Kualitatif Kuantitatif | 1.33 ± 1.04 10.13 ± 4.50 | 1.73 ± 1.37 10.33 ± 4.50 |
*P < .0001 | | |
BAB II
PEMBAHASAN
Hipoglikemi bukanlah sebuah penyakit namun sebuah gejala kompleks yang berhubungan dengan kadar glukosa darah yang subabnormal. Hipoglikemi didefinisikan sebagai nilai serum glukosa yang mencapai 45 mg/dL atau kurang. Penurunan glukosa dapat diukur dengan “hypoglycemic index” memungkinkan gejala hipoglikemi dapat terjadi pada range normal. Pada penelitian ini, diperoleh gambaran bahwa hipoglikemi berhubungan dengan penurunan LOC, seizure, syncope, penurunan fokus neurologi.
Kami menemukan bahwa populasi yang berisiko hipoglikemi dan mengalami kesukaran untuk dilaksanakan terapi intravena termasuk di dalamnya adalah DM (59,3%), obat (11,1%) atau penyalahgunaan alcohol (14,8%) atau gagal ginjal kronik dan gagal jantung kongestif (16,6%). Pasien dengan Diabetes mellitus memiliki insiden 8% mengalami hipoglikemi dengan tingkat kematian 4%. Khususnya tipe I dan tingkat rendah, diabetic tipe II menjadi predisposisi terjadinya hipoglikemik karena insulin dan oral glikemik.
Efek samping dari hipoglikemia adalah signifikan pada disfungsi neurologi, kardiak dan kejiwaan. Hipoglikemi berhubungan dengan iskemik miokard yang berhubungan dengan pembebasan sympathoadrenal yang menghasilkan peningkatan heart rate, kontraktilitas dan afterload dan digambarkan dengan premature atrial dan kontraksi ventrikuler. Penelitian baru-baru ini menguji kerusakan otak karena hipoglikemik dari terapi shock insulin untuk disfungsi psikiatrik. Penelitian ini mengungkapkan adanya destruksi (perusakan) pada korteks serebral tengah dan basal ganglia berhubungan dengan lama waktu seseorang mengalami hipoglikemi, eksitosin endogenus berhubungan dengan penurunan glutamine dan peningkatan aspartat sebagai zat arang dari rangka sebagai sisa untuk glukoneogenesis. Ensefalopati, disfungsi kognitif dan gangguan kepribadian telah dilaporkan pula memiliki hubungan dengan episode hipoglikemik yang berkepanjangan.
Beratnya efek samping dari hipoglikemi ini menuntut untuk dilakukannya terapi agresif. Serum glukosa ditentukan oleh metodologi autoanalyzer yang telah diakui sebagai test standar. Penetapan prehospital dari glukosa darah pertama kali di lakukan dengan menggunakan Dextostix, sebuah strip reagen darah pada tes oksidase glukosa. Strip oksidase glukosa bebas dari kesalahan yang sistematik pada kadar glukosa yang rendah. Strip oksidase glukosa ini akurat pada rentang nilai glukosa pada 40-400 mg/dL.
Jadi, karena pada studi ini hanya terbatas pada pasien tanpa menggunakan jalur intravena, dengan demikian meinimalkan pertimbangan etik, perbandingan serum glukosa dari perlakuan dan setelah perlakuan tidak di tunjukkan. Walaupun begitu, keakuratan dari ChemStrip BG pada hipoglikemi disajikan secara valid, perkiraan semikualitatif pada glukosa serum yang diizinkan dari trend analisa glukosa pada penelitian kami.
Respon fisiologi pada hipoglikemi adalah terjadinya pelepasan yang meningkat dari hormone counter-regulatory endogenus dari dua kali lipat menjadi empat kali lipat pada glucagon dan kortisol dua puluh kali lipat meningkat pada growth hormone dan epinefrin. Glukagon adalah counter-regulatory yang sangat penting dan bertanggungjawab 75% dari produksi glukosa hepatic basal.
Mekanisme glucagon berkebalikan dengan efek insulin. Proses metabolism glukosa berlanjut dari Embden-Meyeroff pathway dan hexose-monophosphate shunt. Hal itu bergantung pada perbandingan antara hormone insulin (anabolic) dan glucagon (catabolic) . Mediator intraselular utama dari prinsip respon ini adalah cAMP, yang merespon pada masukan glukosa 200nmol/kg dengan meningkatkan dua kali lipat cAMP hati dan mancapai tingkat maksimum saat 40 menit. Mekanisme ini melibatkan glucagon stimulating adenylate cyclase, cAMP dan protein kinase, yang mengaktifkan glycogen phosphorilase, dengan demikian akan meningkatkan glikogenolisis dan meng-inaktifasi sintesis glikogen dengan demikian meningkatkan gluconeogenesis.
Glukagon meningkatkan serum glukosa melalui efeknya pada hati, otot dan jaringan adipose. Hati melalui peningkatan glikogenolisis, akan menghasilkan 70 hingga 80% peningkatan glukosa; glukoneogenesis menghasilkan peningkatan glukosa hingga 20 sampai 50% dan mengurangi glikogenesis. Otot melalui penurunan sintesis protein dan meningkat pada proteolisis, dimana alanin diubah menjadi laktat dan piruvat. Jaringan adipose mengalami penurunan lipogenesis dan peningkatan ketogenesis dimana trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Indikasi pemberian glucagon adalah termasuk overdosis insulin, food bolus impaction, pancreatitis sebagai inotropik agen dan pada radiologi gastrointestinal untuk meningkatkan detail mukosa pada penelitian double-contrast. Produksi glucagon endogenus adalah 0.13 mg pada 24 jam. Dosis glucagon adalah 0.1 hingga 0.3 mg/kg menghasilkan dosis 1.0-2.0 mg dan 0.33 mg-2.0 mg untuk pasien anak-anak. Penelitian pada pasien dewasa, diperoleh khasiat yang sama untuk 1.0 atau 2.0 mg dosis dengan mengurangi efek samping dengan pemberian dosis 1,0 mg.
Onset dari aksi pada 15 menit digambarkan pada penelitian ini dimana pemasukan glucagon intraportal mengeluarkan glukosa tripled. Rute pemberian secara intravena dengan onset 5 menit, IM dengan onset 15 menit dan subkutan dengan onset 30 hingga 45 menit.
Efek samping dari glucagon itu ringan, sementara dan kira-kira seperti placebo. Gejala-gejala yang dapat timbul termasuk nausea, bibir kering, dan sakit kepala. Gejala ringan lainnya berupa diare, tromboflebitis, eritema multiform, reaksi alergi umum.
Sebelumnya, bukti-bukti eksperimen terhadap kemanjuran glucagon ini telah terdengar. Efek glucagon digambarkan pada orang dewasa meningkatkan gula darah hingga 119 mg/dL dalam 28 menit dengan durasi 2 jam dibandingkan dengan peningkatan 133 mg/dL dalam 8.82 menit pada penelitian kami. Efek ini diukur saat serum serum glukosa meningkat, 45mg/dL pada dewasa dan 132 mg/dL pada anak-anak. Klinikal evaluasi dari glucagon sebagai terapi pada hipoglikemi menjadi alternative yang dianjurkan.
Penelitian kami menunjukkan peningkatan glukosa 100.2 mg/dL (range 33 hingga 274 g/dL) untuk glucagon dibandingkan dengan 166.0 mg/dL (range 37 hingga 370 mg/dL) untuk pemasukan D50 yang ditunjukkan oleh Adler pada penelitian prospektif pada pasien normal. Jadi, intervensi terapetik ini memberikan prediksi, pembuktian kestabilan serum glukosa dan berikutnya; status mental, over correction dan efek gangguan dari hiperglikemi dapat dicegah.
BAB III
IMPLIKASI KEPERAWATAN
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi profesi keperawatan, khususnya perawat yang bertugas di instalasi gawat darurat. Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam pengambilan tindakan pada pasien yang mengalami koma hipoglikemi. Perawatan dan penanganan serta diagnosis yang sesuai untuk pasien yang masuk dengan keluhan-keluhan yang menunjukkan gejala baik sedang atau masuk dengan tak sadarkan diri (koma).
Penelitian ini juga akan membantu perawat agar mampu memberikan pelayanan yang tepat saat menerima pasien dengan kondisi/tanda-tanda hipoglikemik.
Penemuan pasien dengan gejala seperti hipoglikemi dapat membantu petugas kesehatan membandingkan jenis ketidaksadaran karena hipoglikemik atau penurunan kesadaran dengan sebab-sebab yang lain. Kecepatan dan ketepatan pengambilan tindakan di instlasi gawat darurat dapat menjadi penentu keberhasilan perawatan pasien, tindakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan prognosis kondisi pasien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah dapat diduga bahwa prehospital menggunakan glucagon untuk pasien hipoglikemi sebagai pengganti dari pemberian IV sangat berguna pada pasien yang ‘melawan’. Kami berkesimpulan bahwa glukagon adalah terapi yang aman bagi penderita hipoglikemi ketika jalur IV dirasa sukar. Juga terapi ini dapat memberikan pelayanan yang cepat dengan efek samping yang kecil, dan dapat mengurangi kerusakan dari perpanjangan hipoglikemik.
B. Saran
Dari penjelasan pada penelitian ini diperoleh beberapa informasi tentang hipoglikemik, penyebab dan efek yang sangat membahayakan bagi yang mengalaminya jika tidak mendapat perhatian, pengawasan dan penanganan secara tepat. Maka sudah sepatutnya kita sebagai tenaga kesehatan mengetahui serta dapat memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal jika menemui kasus hipoglikemik ini.
DAFTAR PUSTAKA
0 Responses to Glucagon: PREHOSPITAL THERAPY FOR HYPOGLYCEMIA